Cyber

Cyber
Cyber

Selasa, 22 April 2014

Griya/RUMAH Arsitektur tradisional Bali


 

Ngaben dari exsotic pulau, BALI

NGABEN


Kremasi adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sebagai Bali tugas suci Hindu untuk leluhurnya dengan melakukan prosesi pemakaman tumpukan kayu. Seperti yang saya tulis dalam sebuah artikel tentang pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Tubuh manusia kasar terbentuk dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (padatan), apah (zat cair), Teja (zat panas) angin (angin) dan akasa (spasi). Kelima unsur menyatu untuk membentuk fisik manusia dan didorong oleh atma (roh). Ketika seorang pria meninggal yang meninggal adalah griya badan kasar, bukan atma nya. Jadi kremasi adalah proses pemurnian atma / jiwa saat meninggalkan rough.There tubuh beberapa pendapat tentang asal-usul kata kremasi. Beberapa mengatakan kremasi kata Beya yang berarti makan siang, ada juga yang mengatakan kata ngabu (abu), dll.

Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma dewa pencipta serta juga adalah dewa api. Jadi kremasi adalah proses penyucian roh dgn menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api untuk pendeta bentuk abstrak mantra untuk pralina terbakar kotoran yang melekat pada atma / jiwa.
Upacara ngaben atau ritual Pelebon sering disebut orang yang meninggal, dianggap sangat penting, sibuk dan bersemangat, karena keluarga mampu membebaskan roh pengabenan almarhum dari obligasi duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian.
Untuk menanggung beban biaya, energi dan lain-lain, sekarang orang sering melakukan pengabenan secara massal / bersama-sama. Jenazah almarhum sering dimakamkan sebelum terisi cukup, tapi untuk beberapa keluarga yang mampu upacara kremasi dapat dilakukan sesegera mungkin dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di
griya, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di griya, roh-roh orang mati menjadi gelisah dan selalu ingin kebebasan.


Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil sebelum hari yang jelas. Ini terjadi ketika keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas berbagai warna sesuai dengan kelas atau status sosial ekonomi keluarga concerned.Cremation prosesi upacara dilakukan dengan berbagai proses dan alat-alat dalam bentuk upakara sajen dan kelengkapannya sebagai serta simbol-simbol seperti sering dilakukan Bali ritual Hindu lainnya. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan tubuhnya masih ada di sana, juga manusia yang meninggal tidak ada mayat hanyut seperti laut dan mayat tdk ditemukan, kecelakaan pesawat yang telah membakar tubuhnya, atau seperti kasus bom Bali 1 di mana beberapa mayat tak bisa dikenali karena itu dipotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.


Untuk prosesi kremasi tidak ada tubuh yang dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah kematian lokasi dan kemudian dibakar. Banyak tahap yang melakukan kremasi. Mulai dari memandikan mayat itu, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai alat persembahan (persembahan) yang berbeda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan mengabaikan pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik untuk melaksanakan kremasi. Biasanya balasan akan diberikan waktu tidak lebih dari 7 hari dari hari kematian.

                           Penampakan gambar di Upacara Ngaben penari Prelina, Bali
 
Setelah diperoleh hari H (pemakaman pembakaran), maka keluarga akan menghabiskan ritual pertama yang Nyiramin layon (memandikan mayat). Tubuh akan dicuci oleh Brahmana sebagai kelompok karena status sosial mereka memiliki kewajiban untuk itu. Selesai mandi, tubuh akan dikenakan pakaian lengkap Bali tradisional. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan memanfaatkan kain simbol2 pemurnian bergambar unsur2 dari spirit.On hari prosesi kremasi nya dilakukan di griya pemakaman desa setempat. Tubuh akan diambil menggunakan wadah, di mana badan-badan yang akan dibawa ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk teratai simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah adalah untuk pemalungan, di mana tubuh terbakar yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.
Di sini sekali lagi melakukan upacara penyucian roh pralina oleh pendeta atau seseorang yang dianggap mampu itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah terbakar dengan fusi api mantra dari kotoran atma bentuk abstrak yang melekat di tubuh Anda. Kemudian membuat penggunaan api membakar dengan beton. Hari ini tidak menggunakan kayu bakar lagi, tetapi menggunakan api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin.
Umumnya, proses pembakaran mayat seluruh abu yang memakan waktu 1 jam. Ash kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading yang akan dirakit menjadi sekah. Ini Sekah yang dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu ke rumah Allah. Demikian pula, serangkaian singkat prosesi kremasi di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berada di bawah 42 hari dan apakah atau tidak tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti kremasi yang akan ada jika ada keluarganya meninggal.



Status kelahiran kembali roh orang mati berkaitan erat dengan karma dan tindakan dan perilaku selama kehidupan sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran kehidupan dan kematian bagi masyarakat Bali adalah hubungannya dengan nenek moyang.
Semua orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang dalam perjalanannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu kemudian berubah kembali ke pulau tercinta, Bali.


melihat lebih ...


Griya Arsitektur tradisional Jawa Timur


Gedung membentuk bagian barat Jawa Timur (seperti di Ngawi, Madison, Magetan, dan Ponorogo) umumnya mirip dengan bentuk bangunan Jawa Tengah (Surakarta).


Jawa Timur bangunan umumnya memiliki bentuk joglo,

bentuk piramida (yang gepak perawan), bentuk srontongan (empyak setangkep). bangunan anese umumnya memiliki bentuk joglo,



Hindia Belanda masa kolonial juga meninggalkan sejumlah bangunan kuno. Kota dan kota-kota di Jawa Timur, ada banyak bangunan yang dibangun di era kolonial, terutama di Surabaya dan Malang.





Terlihat di tengah ada lapangan yang tampaknya untuk membagi antara bagian bawah dan atap, itu adalah ciri dari rumah joglo, dan bagian bawah akan tampak sangat luas, hal ini juga terkait dengan budaya masyarakat Jawa Timur yang mempertahankan yang silaturaahmi tali, dan biasanya di rumah ada joglo kursi berbentuk sangat panjang, yang mungkin berisi puluhan orang sekaligus.




Griya/RUMAH  Arsitektur tradisional Bali


 

Residential bangunanHunian di Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman sebagaimana disebutkan di atas. Utara-timur sudut adalah tempat suci, digunakan sebagai tempat ibadah, Pamerajan (sebagai candi keluarga). Sebaliknya sudut barat adalah titik terendah dalam tata bahasa-nilai rumah, merupakan pintu masuk ke tempat tinggal.Di pintu masuk (angkul-angkul) ada dinding yang disebut fasad, yang tidak hanya berfungsi sebagai penghalang ke tampilan ke dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh jahat / jelek. Dalam bagian ini ada bangunan Jineng (lumbung) dan paon (dapur).  
Ada bangunan bale tiang berturut-turut Sangah, bale sikepat / semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka.Di tengah-tengah natah terkandung perumahan (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak perempuan. Umah meten bangunan memiliki empat dinding, sesuai dengan fungsi yang memerlukan keamanan yang lebih tinggi dari kamar lain (di mana barang-barang penting & berharga). 
Hunian khas dalam masyarakat Bali, biasanya memiliki pembagi dalam bentuk pagar yang mengelilingi bangunan / ruang yang disebutkan di atas.Tentang arsitektur Bali menurut pemahaman tattwa Hinduism.General membangun Kembali langkahKembali untuk topis semua hasil perwujudan manusia dalam bentuk bangunan, yang berisi keutuhan / kesatuan dengan agama (ritual) dan kehidupan budaya masyarakat. Termasuk dalam bangunan adalah:

   
1. Kemampuan untuk merancang dan membangun.
   
2.Mewujudkan seni membangun sesuai dengan berbagai prinsip seperti: bentuk, konstruksi. bahan, fungsi dan keindahan

 
Gedung Bali Kembali langkahKembali untuk membangun topEach didasarkan pada tattwa (filsafat) Hindu

 
Bali membangun Kembali langkahKembali filosofis topis adanya hubungan yang erat antara hidup dan Bhuwana Bhuwana alit dengan realisasi yang mulia didasarkan pada ketentuan agama Hindu.

 
Pengelompokan bangunan Bali meliputi Kembali langkahKembali ke atas

   
1. Membangun sakral / keagamaan.
   
2. Bangunan kepara / kustom.

 
Beberapa ketentuan bangunan Bali: 1 langkahKembali Kembali ke atas

   
1. Tempat / rencana berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
   
2. Bangunan / konstruksi didasarkan pada Dewa dan lontar Asta Asta Kosala / Kosali.
   
3. Bahan / bahan berdasarkan Dewa dan lontar Asta Asta Kosala / Kosali, seperti: kayu, serat, alang-alang, batu alam, batu bata, dll

 
Bangunan Bali mengandung karakteristik: Kembali 1 langkahKembali ke atas
   
1.Pengider-ideran (Catur Loka Phala / Asta Dala).
   
2. Mandala Tri / Tri Loka
   
3.Adanya upacara sangaskara / pemurnian.
   
4.Mengandung simbol sesuai dengan ajaran Hindu, (misalnya: Sanghyang Acintya, Naga, Padma dan sebagainya).

 
Jenis membangun Bali langkahKembali Kembali ke atas

   
1. Membangun pelinggih suci / agama-pelinggih adalah semua yang suci, termasuk patung / patung dan peralatan mereka.
   
2.Bangunan kepara / ritual adalah bangunan tempat tinggal, adat istiadat, dan lainnya Bali bangunan.

 
Bali bentuk dan nama membangun Kembali langkahKembali ke bentuk topBalinese dan nama bangunan sesuai dengan ketentuan Dewa kelapa Asta, Asta Kosala / Kosali dan Wisma Karma Lontar.

 
Pemerintahan dan Bali pengudusan bangunan, antara lain: 1 langkahKembali Kembali ke atas
   
1. Ngeruwak Reef.
   
2. Nyukat Reef.
   
3. Nasarin.
   
4. Memakuh.
   
5. Ngurip-urip.In sesuai dengan Dewa kelapa Asta, Asta Kosala / Kosali, Dewa Tattwa dan fungsi lontar.Order lainnya dan menggunakan langkahKembali Kembali ke atas

   
1. Semua bentuk bangunan Bali harus mengikuti ketentuan yang disebutkan di atas.
   
2. Fungsi dan penggunaannya ditetapkan pada proporsi yang wajarArsitektur tradisional Bali 2Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan turun-temurun masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dengan luas, mencakup semua aspek kehidupan.  

Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah dikembangkan secara turun-temurun dengan segala aturan yang diwarisi dari jaman, untuk pengembangan bentuk dengan karakteristik fisik yang mengungkapkan Kosala Asta rontal-Kosali, Asta Patali dan lain-lain , sampai penyesuaian oleh undagi masih selaras dengan petunjuk dimaksud.Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar adalah: 
* Konsep hirarki ruang, atau Tri Angga Tri Loka 
* Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga Sanga atau Mandala 
* Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu 
* Konsep proporsi dan skala manusia 
* Konsep court, Open air 
* Konsep kejujuran bahan bangunanTri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan arsitektur, yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep membagi segalanya Angga Tri menjadi tiga bagian atau zona: 
* Penghinaan (bawah, kotor, kaki), 
* Madya (tengah, netral, badan) dan 
* Main (atas, murni, kepala)Ada tiga sumbu yang digunakan untuk memandu penataan bangunan di Bali, sumbu itu antara lain: 
* Sumbu kosmos bhur, Bhuwah dan swah (hidrosfir, litosfir dan suasana) 
* Axis-Kauh Kangin ritual (matahari terbit dan terbenam) 
* Axis Kaja-Kelod alam (gunung dan laut)Dari sumbu, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa Sanga Sanga atau Mandala.
 Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di BaliResidential BangunanTinggal di masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman seperti di atas.
 Utara-timur sudut adalah tempat suci, digunakan sebagai tempat ibadah, Pamerajan (sebagai candi keluarga). Sebaliknya barat sudut adalah titik terendah dalam rangka rumah-nilai, adalah arah ke tempat tinggal.Di pintu masuk (angkul-angkul) ada dinding yang disebut penutup pelindung, yang tidak hanya berfungsi sebagai penghalang ke tampilan dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penyangkalan kejahatan pengaruh / jelek. Dalam bagian ini ada sedang membangun Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Ada bangunan bale tiang berturut Sangah, bale sikepat / semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka.Di tengah-tengah perumahan ada natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang kepala keluarga tidur, atau perempuan. Umah meten bangunan memiliki empat dinding, sesuai dengan fungsi yang memerlukan keamanan yang lebih tinggi dari kamar lain (di mana hal-hal penting & berharga).Residential khas masyarakat Bali, biasanya dalam bentuk pagar penghalang di sekitar bangunan / kamar di atas.Kajian Ruang Luar dan Ruang DalamMengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Cluster periode dilingkup oleh lingkar dinding / tembok. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar. Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep Bali dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi juga sering digunakan dalam upaya untuk "meminjam" unsur alam ke dalam gedung.Saat-saat seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah waktu untuk bangunan beratap, memiliki dalam ruang. Periode ini memiliki unsur yang kuat 3 dari unsur-unsur pembentuk lantai, dinding dan atap (pada bale bale tiang sanga, bale sikepat atau dinding sekenam hanya 2-sisi, adalah bahwa hanya memiliki empat dinding penuh uma meten).Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale bale sikepat dan sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang ini mengikat itu sendiri adalah ruang luar. Outer ruang sebagai mengikat sangat kuat, wilayah ini sesuai dengan sifat diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap darurat sementara /. Natah berubah sifat dari 'ruang luar' menjadi 'ruang dalam' karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Lain space-elemen pembentuk tentu saja lantai, dan dinding yang dibentuk oleh empat kali sekitarnya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh jaraknya dari pusat natah. Jika situasi ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa ditambah natah sekitarnya (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi besar perumahan dan lengkap seperti yang ditemukan penampungan sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi 'hidup dalam' yang 'satu', dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya.Ruang positif Studi dan Antariksa NegatifSebagai pintu masuk hanya untuk perumahan, angkul-angkul berfungsi sebagai penerima gateway. Kemudian orang akan dihadapkan dengan dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan pada pukul setengah sepuluh derajat. Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh pintu masuk. Jadi dilihat dari dalam hunian, tidak ada infiltrasi dan penetrasi ruang. Keberadaan shelter ini memperkuat sifat positif ruang yang disebabkan oleh dinding sekitar disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positif dan negatif.Dilihat dari posisinya di Nawa-sanga, "natah" yang terletak di area tengah-tengah-ning, suatu yang sangat "manusiawi". Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positif. Dalam natah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.Di daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (mobile), sehingga daerah ini telah diberi "frame" untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi 'ruang-luar' dengan ketidak-hadiran elemen atap sebagai Sana. ruang Diskonto positif, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya disana.Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir.Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat (Pamerajan atau sanggah), Selamat datang ruang negatif. Kemudian ruang-negatif tersebut diberi 'frame' untuk menjadi positif baru-space. Dalam ruang positip baru ini kali hadir uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, Paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang positip baru ini.Konsistensi dan KonsekuensiTidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain, di mana sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit atau bagian bangunan yang terpisah, masing-masing yang memiliki fungsi tersendiri. Sebuah hunian di Bali, bersama-sama dengan beberapa bagian lain dari dunia yang memiliki fungsi seperti tempat tidur, tempat untuk bekerja, memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), yang berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain. Ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri di sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian dari bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara-in adalah ruang bawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain juga di dalam ruangan atau di luar gedung interior.Ruang (natah) adalah ruang luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Jika bagian dari bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah 'Ruang dalam ruang-luar', terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, itu adalah konsekuensi jika pusat adalah orientasi dari hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat dari fakta ini sirkulasi.Pada ruang adalah bagian utama (yang bersifat 'manusia') dari hunian Bali.Jika diteliti dari perumusan sebuah hunian, maka natah adalah bagian dari kegiatan utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas dalam ruangan atau interior. Kemudian, bila dikaitkan dengan keberadaan bale bale sikepat, dan bale sekenam tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang 'terbuka' ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama yang ada pada saat ini, dimana bale-bale adalah kamar tidur, natah adalah tempat berkumpul yang bisa disebut ruang keluarga. Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, perumahan Bali, teryata identik dengan hunian-hunian di Barat perumahan berbentuk datar.Studi tentang hunian Bali, ketika hunian dipandang sebagai rumah kesatuan yang utuh, konsekuensinya adalah penyengker dalam ruang (dinding batas) adalah ruang-dalam.
 Bangunan tempat tinggal di Bali tidak dilihat sebagai massa, tetapi harus dilihat sebagai ruang di ruang angkasa. Terutama jika Anda melihat kehadiran dinding pada bale tiang sanga, bale sekenam sikepat dan arah 'terbuka' untuk menyertakan ruang, maka situasi ini memperkuat kehadiran dalam nuansa interior atau kamar di rumah tradisional Bali. Dalam kondisi seperti itu adalah penyengker-ruang batas antara ruang dalam dan luar (jalan desa). Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan pola di Jepang, yang oleh Ashihara (1970) menyatakan:.................. Rumah Jepang kayu tidak secara langsung menghadapi jalan tapi dikelilingi oleh pagar. Karena taman tidak terlihat dari jalan, itu diperintah oleh urutan dalam rumah ............... ........................................................ dalam kasus rumah Jepang, interior taman yang diperintah oleh ketertiban, dan pagar berfungsi sebagai batas untuk memisahkan interior dari ruang eksterior.Studi ini melihat pada kesamaan sifat halaman-ruang di bagian dalam hunian arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun pada hunian Bali kesan ruang lebih terasa dan jelas dibandingkan dengan hunian Jepang.Penelitian ini lebih menarik jika dikaitkan dengan teori di atas Yoshinubo Ashihara, bahwa ruang luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan batas / pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Di sisi lain, ruang adalah kebalikan dari luar angkasa (di mana ada unsur ruang lengkap dasar, dinding dan atap). Jadi dalam kasus hunian, teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling bertentangan. Kedua pertentangan antara hidup keluar dari ruang-in yang berhubungan dengan kejadian dan hubungan dengan elemen dasar, dinding dan atap.Dalam rumah Jepang, kata Yoshinobu Ashihara dinding pagar adalah batas antara ruang dan ruang-in-out. Pada hunian Bali, penyengker bekerja sama seperti itu. Penyengker bisa menghadapi alam, tetangga, dan jalan desa. Dalam kasus sebuah desa penyengker jalan, maka jalan menghadap penyengker bangunan desa lain, jalan-jalan di luar desa adalah ruang positif. Di jalan desa di mana kegiatan terjadi baik bagi masyarakat untuk menggunakan kegiatan sehari-hari dan kegiatan fasilitas dan prosesi seni ritual. Kegiatan terkonsentrasi ke dalam (centripetal order) ini disebut Yoshinobu Ashihara, ruang positip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar